Minggu, 02 Januari 2011

KEKAYAAN MAJAPAHIT


Tatkala negara mengalami carut-marut, ekonomi terpuruk, kerusuhan terjadi di mana-mana, musibah silih berganti tak pernah henti, pemimpin kehilangan legitimasi rakyat, maka yang terjadi adalah kerinduan. Rindu masa lalu. Masa kejayaan bangsa. Yaitu masa Kerajaan Majapahit. Seperti apa kejayaan kala itu?

Majapahit adalah kerajaan besar di masanya. Dua tokoh besar, Hayam Wuruk dan Gajah Mada, jadi simbol keemasannya. Angkatan perangnya perkasa, Nusantara disatukan. Republik Indonesia berdiri di atas peninggalan Majapahit yang agung itu. Namun kini negeri ini sedang terpuruk. Kepemimpinan nasional tak lagi dapat dipercaya. Benarkah karena kualat leluhur? Atau terkena kutukan sumpah palapa?

Dalam catatan sejarah, kerajaan besar ini berdiri sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Tanah Jawa bagian timur adalah pusatnya. Majapahit dikenal sebagai kerajaan terbesar dalam catatan sejarah Nusantara. Angkatan perangnya tangguh dan pilih tanding. Karenanya, Majapahit berhasil menguasai sebagian besar pulau Jawa, Madura, Bali, bahkan konon seluas wilayah NKRI sekarang ditambah Malaka.

Kitab Nagarakertagama mencatat zaman keemasan itu. Bahwa harumnya Majapahit, terjadi semasa diperintah Raja Hayam Wuruk (1350-1389). Selain itu, Majapahit selalu dikenang kebesarannya karena jasa Patih Gajah Mada. Berkat dialah angkatan perang Majapahit, terutama angkatan lautnya, menjadi kokoh dan digdaya. Namun setelah masa itu, sejarah Majapahit menjadi tak jelas.

Masih menurut catatan sejarah bahwa Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi dua sektor itu. Dalam catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua. Sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi.

Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata. Kondisi itu menggambarkan bila Majapahit pada masa itu berada dalam kemakmuran, melalui simbol istana rajanya.

Sektor pemerintahan, Majapahit ditulis sejarah sebagai kerajaan yang struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur. Itu terjadi pada masa pemerintahan dipimpin Hayam Wuruk. Pola demikian tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya. Kala itu, raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi. Raja dibantu sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan. Putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi.

Perintah raja diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, yaitu Rakryan Mahamantri Katrini (biasanya dijabat putra-putra raja), Rakryan Mantri ri Pakira-kiran (dapat dikatakan sebagai dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan), para Dharmmadhyaksa (pejabat hukum keagamaan), dan para Dharmma-upapatti (pejabat keagamaan).

Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, disebut Bhattara Saptaprabhu. Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah yang disebut paduka bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing.

Bayang-Bayang Majapahit
Seperti diungkap spiritualis Ki RM Dewo, ada satu yang pantas diingat dari kebesaran Majapahit. Yakni angkatan perangnya, dalam hal ini angkatan laut yang sangat tangguh. Kondisi seperti ini terjadi ketika Patih Majapahit dijabat oleh Gajah Mada. "Di tangan pria misterius bertangan besi ini, Majapahit menjadi kerajaan yang perkasa dan besar," kata spiritualis yang masih keturunan Brawijaya VII ini.

Menurut Ki Dewo, keterpurukan Indonesia saat ini karena tidak meniru pola yang diterapkan Majapahit. Pola angkatan bersenjata yang menitikberatkan pada pertahanan laut, sangat pantas diterapkan di Indonesia. Sebab sebagai negara kelautan dengan ratusan pulaunya, Republik Indonesia sangat rentan infiltrasi asing. "Kita lihat dengan mudahnya kekayaan laut dan hasil pulau-pulau kita dikuasai negara lain. Itulah kelemahan besar kita," ujar Ki Dewo.

Semasa pemerintahan Gus Dur, terang Ki Dewo, pusat kekuatan angkatan bersenjata kita pernah diarahkan pada kekuatan laut. Antara lain dengan diangkatnya Panglima TNI dari unsur angkatan laut. Itu menunjukkan perhatian Gus Dur pada sektor kelautan yang perlu perhatian besar. "Tapi sayang hal itu seperti putus di tengah jalan. Terbukti cita-cita memperkuat sektor kelautan tidak berkesinambungan pada pemerintahan berikutnya," imbuh Ki Dewo.

Kalau saja Indonesia mau menerapkan titik pangkal kekuatan pada sektor laut, ungkap Ki Dewo, niscaya Indonesia akan berjaya. Karena laut dan pulau-pulau yang berserakan di nusantara ini, menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. "Andai saja kekayaan itu bisa digali, bukan tidak mungkin Indonesia bisa jadi negara yang kaya," katanya.

Keterpurukan Indonesia saat ini, antara lain disebabkan tidak mau bercermin pada Kerajaan Majapahit. Apalagi sikap mental pemimpin dan para pejabat di Indonesia yang hanya ingin mencicipi manisnya saja. Tidak seperti apa yang dilakukan Patih Majapahit, Gajah Mada. "Prinsip pejabat di kerajaan Majapahit itu pantas ditiru. Para pimpinan negeri ini kualat kepada Gajah Mada sehingga Indonesia terpuruk," ungkap Ki Dewo.

Patih Gajah Mada dengan sumpah palapanya, menjadi contoh seorang pemimpin sejati. Dialah panglima perang yang benar-benar mengabdi kepada negaranya, bukan mengabdi pada kepentingan dirinya. Ia tidak akan pernah mencicipi manisnya jabatan, sebelum tugas-tugasnya dilaksanakan terlebih dahulu. "Coba saja bandingkan prinsip tersebut dengan para pemimpin atau pejabat kita saat ini," papar Ki Dewo.

Kalau saja Indonesia mau mengubah pola pengelolaan negaranya, beber Ki Dewo, pasti keterpurukan akan segera diatasi dan kejayaan akan diraih. Caranya dengan bercermin pada bayang-bayang Majapahit. Di antaranya mulai mengelola sektor agraris yang bertumpu pada potensi kelautan dan pertanian dengan mengelola bumi sebaik-baiknya.

Ki Dewo menyayangkan karena yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Pemimpin dan pengelola negara saat ini justru menggantungkan pengelolaan negara kepada bantuan asing. Padahal sesungguhnya itu merupakan perangkap yang bakal menjerumuskan Indonesia ke ambang kehancuran. Seharusnya, kita mulai mengelola kekayaan alam sendiri semaksimal mungkin. Karena dengan cara seperti itu, kita tidak akan kelaparan. "Bukankah di Indonesia banyak orang-orang pintar. Kenapa mereka tidak dikerahkan untuk memikirkan masalah pengelolaan alam," cetus Ki Dewo.

Keterpurukan Indonesia, masih kata Ki Dewo, memang karena pemimpinnya kualat. Di antaranya dengan menelorkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak asing. Contoh paling menyedihkan adalah kasus PT Freeport. Ditambah beberapa kebijakan lain yang menyerahkan alam Indonesia untuk digarap pihak asing. Kebijakan yang sifatnya sementara itu justru akan merugikan Indonesia jangka panjang. Yang akan merasakan dampaknya nanti adalah anak cucu kita.

Maka, untuk mengangkat kutukan karena kualat kepada alam ini, pemerintah harus segera melakukan langkah-langkah kebijakan yang berani. Di antaranya menyetop masuknya kekuatan asing yang hanya akan mengeruk kekayaan Nusantara. Kemudian mengerahkan seluruh kemampuan bangsa Indonesia untuk mengolah potensi-potensi yang terkandung di bumi pertiwi. "Dengan cara itu, Indonesia akan lepas dari kutukan karuhun dan segera akan mencapai kejayaan," harap Ki Dewo.